Rabu, 26 Maret 2025

UU TNI yang Baru: Modernisasi Pertahanan atau Ancaman bagi Demokrasi dan Masyarakat Papua?

Oleh: Ferdinand Nauw, M.Pd *)

Pengesahan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menandai perubahan besar dalam tata kelola pertahanan nasional. Perubahan ini mencakup perpanjangan usia pensiun prajurit, perluasan peran TNI di sektor sipil, serta peningkatan kewenangan dalam menghadapi ancaman non-konvensional.

Bagi masyarakat umum, perubahan ini mungkin sekadar kebijakan teknis. Namun, bagi daerah-daerah dengan dinamika sosial dan politik yang kompleks seperti Papua, revisi UU ini berpotensi memiliki dampak luas, baik dari segi keamanan, pemerintahan, maupun hak-hak masyarakat sipil.

Lalu, apakah revisi ini benar-benar menjadi langkah maju dalam modernisasi pertahanan, atau justru membuka ruang bagi potensi ketimpangan kewenangan antara sipil dan militer?

1. Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit: Dampak bagi Regenerasi dan Kesejahteraan Daerah

Perubahan UU ini memperpanjang usia pensiun prajurit, yang berarti lebih banyak personel TNI tetap aktif dalam dinas lebih lama.

Dampaknya bagi daerah, termasuk Papua:

Regenerasi kepemimpinan dalam tubuh TNI bisa terhambat, sehingga daerah-daerah seperti Papua yang membutuhkan adaptasi dengan dinamika sosial terkini mungkin tetap dipimpin oleh pejabat militer dengan pendekatan lama.

Dengan lebih banyak prajurit aktif, alokasi anggaran untuk kesejahteraan prajurit meningkat, tetapi bisa mengorbankan investasi di sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan di daerah terpencil.

Kurangnya peluang bagi prajurit muda untuk promosi bisa memicu demotivasi dan potensi ketimpangan dalam distribusi jabatan di berbagai wilayah, termasuk di Papua.

Di Papua, di mana hubungan antara aparat keamanan dan masyarakat sering kali tegang, kebijakan ini bisa memperpanjang dominasi personel militer yang telah lama bertugas di wilayah ini, sehingga memperlambat pendekatan baru dalam membangun kepercayaan dengan masyarakat setempat.

2. Peran TNI di Sektor Sipil: Ancaman bagi Supremasi Sipil dan Otonomi Daerah

UU yang baru membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di lebih banyak lembaga pemerintahan sipil, bukan hanya di Kementerian Pertahanan atau institusi strategis lainnya.

Bagi daerah seperti Papua, di mana otonomi khusus seharusnya memberi ruang lebih besar bagi peran masyarakat sipil dan pemerintahan daerah, kebijakan ini bisa menjadi tantangan serius:

Kehadiran prajurit aktif dalam jabatan sipil bisa mempersempit ruang demokrasi, karena aparat militer cenderung memiliki pendekatan komando yang berbeda dari birokrasi sipil.

Pemerintah daerah bisa kehilangan kendali dalam beberapa sektor strategis, terutama jika personel militer yang ditempatkan memiliki lebih banyak kewenangan dalam pengambilan keputusan.

Masyarakat sipil Papua, yang selama ini kritis terhadap pendekatan keamanan berbasis militer, bisa semakin teralienasi, karena melihat kehadiran TNI yang semakin meluas di sektor-sektor non-militer.

Papua memiliki sejarah panjang dalam hubungan antara TNI dan masyarakat sipil. Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menguatkan persepsi bahwa negara lebih mengutamakan pendekatan keamanan daripada pendekatan kesejahteraan dalam menangani Papua.

3. Perluasan Peran TNI dalam Menghadapi Ancaman Non-Konvensional: Ancaman atau Solusi?

UU ini juga memberikan TNI kewenangan lebih besar dalam menghadapi ancaman non-konvensional seperti terorisme, kejahatan siber, dan ancaman lain yang dianggap berbahaya bagi negara.

Namun, bagi Papua dan daerah lain yang memiliki dinamika sosial-politik yang sensitif, perluasan peran ini bisa menimbulkan implikasi serius:

Kemungkinan meningkatnya operasi militer dalam penanganan konflik sosial, yang seharusnya menjadi ranah Polri atau pendekatan berbasis dialog.

Potensi perluasan pengawasan militer dalam kehidupan masyarakat, dengan dalih mencegah ancaman keamanan nasional.

Kekhawatiran akan meningkatnya pendekatan represif terhadap kelompok masyarakat yang kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat, khususnya di Papua.

Pendekatan militer yang lebih dominan dalam penyelesaian konflik berisiko mengabaikan akar permasalahan yang sesungguhnya, seperti kesenjangan ekonomi, ketimpangan pendidikan, serta kurangnya pembangunan infrastruktur yang berpihak pada masyarakat asli Papua.

Kesimpulan: Papua Butuh Pembangunan, Bukan Sekadar Pendekatan Keamanan

Undang-Undang TNI yang baru ini mungkin bertujuan untuk meningkatkan ketahanan nasional dan adaptasi terhadap ancaman zaman. Namun, bagi daerah seperti Papua, perubahan ini harus dilihat dengan kacamata yang lebih kritis.

Jika tujuan utama pemerintah adalah menciptakan Papua yang aman dan sejahtera, maka yang dibutuhkan bukan sekadar militerisasi dalam berbagai sektor, tetapi juga investasi yang lebih besar dalam pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat asli.

Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan agar implementasi UU ini tidak menjadi boomerang bagi demokrasi dan kesejahteraan masyarakat Papua:

1. Menjaga keseimbangan antara peran TNI dan supremasi sipil, dengan regulasi ketat tentang batasan keterlibatan prajurit aktif di sektor sipil.

2. Menjamin bahwa keberadaan TNI di Papua benar-benar untuk perlindungan masyarakat, bukan untuk membatasi kebebasan sipil dan politik.

3. Membuka ruang dialog yang lebih besar antara pemerintah, masyarakat adat, dan kelompok-kelompok sipil di Papua, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam implementasi kebijakan keamanan.

Papua tidak boleh hanya dipandang sebagai wilayah yang perlu dijaga dengan pendekatan militer. Papua adalah bagian dari Indonesia yang memiliki hak untuk mendapatkan pembangunan yang adil, kesejahteraan yang merata, serta ruang demokrasi yang sehat.

Jika UU TNI yang baru ini tidak diimplementasikan dengan bijak, maka yang akan terjadi bukanlah Papua yang lebih aman dan stabil, melainkan Papua yang semakin jauh dari prinsip keadilan dan demokrasi yang seharusnya dijunjung oleh negara ini.

*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal Solidaritas Guru Asli Papua

Minggu, 23 Maret 2025

Membangun Fakfak: Sinergi Penguatan Masyarakat Hukum Adat dan Perencanaan Pembangunan 2025-2030

Oleh: Ferdinand Nauw *)



A. Pendahuluan

Kabupaten Fakfak, sebagai salah satu wilayah di Papua Barat, memiliki kekayaan budaya dan sosial yang unik, terutama dalam konteks masyarakat adatnya. Dalam upaya mengakui, melindungi, dan memberdayakan masyarakat hukum adat, serta untuk mewujudkan pembangunan daerah yang inklusif dan berkelanjutan, telah diterbitkan dua dokumen kebijakan utama yang menjadi pedoman bagi pemerintah daerah, yaitu:
  1. Peraturan Daerah Kabupaten Fakfak Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Mbaham Matta
  2. Visi, Misi, dan Strategi Pembangunan Fakfak 2025-2030 (RPJMD 2025-2030)
Perda Nomor 3 Tahun 2023 memiliki ruang lingkup yang luas dalam memberikan jaminan hukum bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA) Mbaham Matta. Beberapa aspek utama yang diatur dalam Perda ini meliputi:
  • Pengakuan dan verifikasi keberadaan MHA sebagai bagian dari sistem sosial dan budaya Fakfak.
  • Perlindungan hak-hak adat, termasuk hak atas tanah ulayat, sumber daya alam, dan sistem kelembagaan adat.
  • Pemberdayaan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat adat agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
  • Penyelesaian sengketa adat dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat terhadap eksploitasi atau tindakan yang merugikan hak-hak mereka.
  • Mekanisme pendanaan dan regulasi turunan, seperti Peraturan Bupati (Perbup), untuk mendukung implementasi Perda secara efektif.
Sementara itu, RPJMD 2025-2030 merupakan dokumen perencanaan strategis yang bertujuan untuk membangun Kabupaten Fakfak yang lebih mandiri, sejahtera, aman, dan berdaya saing (Fakfak Membara). RPJMD ini mengusung prinsip pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan dengan tetap menghormati keberagaman serta kearifan lokal. Beberapa fokus utama dalam RPJMD ini meliputi:
  1. Peningkatan tata kelola pemerintahan yang bersih dan demokratis
  2. Kemandirian ekonomi berbasis sumber daya lokal dengan optimalisasi sektor pertanian, perikanan, dan UMKM.
  3. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
  4. Pembangunan infrastruktur dan konektivitas untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
  5. Pelestarian adat dan budaya sebagai bagian dari identitas masyarakat Fakfak.Keamanan dan ketertiban sosial guna menjaga keharmonisan masyarakat.
Keterkaitan antara Perda No. 3 Tahun 2023 dengan RPJMD 2025-2030 sangat erat, karena salah satu pilar utama pembangunan Fakfak adalah pemberdayaan masyarakat hukum adat. Dalam konteks ini, RPJMD tidak hanya bertujuan untuk membangun infrastruktur fisik dan ekonomi, tetapi juga memastikan bahwa masyarakat adat memperoleh manfaat dari pembangunan tanpa kehilangan hak-haknya. Oleh karena itu, implementasi Perda No. 3 Tahun 2023 akan menjadi bagian integral dalam mencapai visi pembangunan Kabupaten Fakfak dalam lima tahun ke depan.

Tulisan ini akan menguraikan secara lebih rinci bagaimana Perda No. 3 Tahun 2023 dan RPJMD 2025-2030 dapat bersinergi dalam membangun Kabupaten Fakfak yang lebih adil dan berdaya saing, serta regulasi turunan yang harus segera diterbitkan oleh Bupati dan Wakil Bupati Fakfak agar kebijakan-kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan efektif.

B. Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Mbaham Matta

Masyarakat Hukum Adat (MHA) Mbaham Matta merupakan komunitas asli Fakfak yang memiliki hak adat atas tanah, budaya, dan sistem sosial mereka. Perda Nomor 3 Tahun 2023 menetapkan berbagai regulasi untuk melindungi dan memberdayakan mereka, antara lain:
  1. Pengakuan Hak Adat: Pemerintah mengakui wilayah adat Mbaham Matta berdasarkan hukum adat yang sah.
  2. Perlindungan Hak dan Wilayah: Wilayah adat dijaga dari eksploitasi ilegal, dan hak ulayat tetap dihormati.
  3. Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial: Masyarakat adat didorong untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah.
  4. Penyelesaian Sengketa Adat: Sengketa diselesaikan melalui mekanisme adat dan hukum negara.
  5. Pendanaan dan Sanksi: Pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk perlindungan MHA, sementara pelanggaran terhadap perda ini dapat dikenakan sanksi administratif dan pidana.
Namun, implementasi perda ini membutuhkan berbagai Peraturan Bupati (Perbup) sebagai aturan pelaksana. Beberapa Perbup yang telah diamanatkan mencakup pengakuan MHA, pemberdayaan ekonomi, perlindungan hak perempuan dan anak dalam MHA, serta mekanisme penyelesaian sengketa adat.

C. Strategi Pembangunan Fakfak 2025-2030: Menuju Kabupaten Mandiri dan Berdaya Saing

Visi pembangunan Fakfak periode 2025-2030 selaras dengan visi nasional "Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045." Pembangunan daerah diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menghargai keberagaman budaya dan adat.

Enam Misi Utama Pembangunan Fakfak:
  1. Pemerintahan Bersih dan Demokratis: Meningkatkan profesionalisme dan transparansi dalam tata kelola pemerintahan.
  2. Kemandirian Ekonomi Berbasis Sumber Daya Lokal: Mengoptimalkan sektor pertanian, perikanan, dan UMKM.
  3. Peningkatan Kualitas SDM: Fokus pada pendidikan, kesehatan, serta pemberdayaan perempuan dan generasi muda.
  4. Pembangunan Infrastruktur: Penyediaan jalan, listrik, air bersih, dan konektivitas digital untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
  5. Pelestarian Budaya dan Adat: Mengembangkan peran masyarakat adat dalam pembangunan daerah.
  6. Keamanan dan Ketertiban Sosial: Menjaga kedamaian dan toleransi antar komunitas di Fakfak.

D. Regulasi Turunan yang Harus Dibuat oleh Bupati dan Wakil Bupati Fakfak

Untuk memastikan implementasi Perda Nomor 3 Tahun 2023 serta mendukung Visi dan Misi Pembangunan Fakfak 2025-2030, beberapa regulasi turunan dalam bentuk Peraturan Bupati (Perbup) perlu segera disusun.

  1. Regulasi untuk Implementasi Perda No. 3 Tahun 2023

a. Perbup tentang Tata Cara Pengakuan MHA dan Pemetaan Wilayah Adat

    • Mengatur prosedur identifikasi dan pemetaan wilayah adat.
    • Melibatkan partisipasi masyarakat adat dalam verifikasi wilayah adat.

b. Perbup tentang Pemberdayaan MHA

    • Mengatur skema pemberdayaan ekonomi berbasis kearifan lokal.
    • Menyediakan sarana dan prasarana untuk pelestarian budaya adat.

c. Perbup tentang Standarisasi Nilai Jual Tanah Adat

    • Menetapkan nilai jual tanah adat berdasarkan NJOP dan appraisal independen.

d. Perbup tentang Mekanisme Restitusi dan Kompensasi

    • Mengatur tata cara kompensasi bagi masyarakat adat yang wilayahnya terdampak pembangunan.

e. Perbup tentang Penetapan Wilayah Adat

    • Menentukan mekanisme pengakuan resmi batas wilayah adat.

f. Perbup tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif bagi Badan Usaha

    • Mengatur sanksi bagi perusahaan yang melanggar hak MHA.

g. Perbup tentang Forum Musyawarah MHA

    • Menyusun prosedur Musyawarah Besar (Gelar Tikar Adat) untuk pengambilan keputusan strategis.

h. Perbup tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Wilayah Adat

    • Mengatur tata cara perizinan bagi pihak luar yang ingin bekerja sama dalam pemanfaatan wilayah adat.

i. Perbup tentang Penyelesaian Sengketa Wilayah Adat dan Konflik dengan Pihak Luar

    • Mengintegrasikan sistem peradilan adat dengan hukum nasional.

2. Regulasi untuk Mendukung RPJMD 2025-2030
  • Perbup tentang Tata Kelola Investasi Berbasis Masyarakat Adat
  • Perbup tentang Pendidikan dan Pelestarian Budaya Adat
  • Perbup tentang Pengelolaan Pariwisata Berbasis Adat
  • Perbup tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Masyarakat Adat

3. Kebutuhan Tambahan Peraturan Bupati

Selain Perbup yang telah disebutkan dalam Perda No. 3 Tahun 2023, terdapat beberapa aspek tambahan yang masih memerlukan regulasi lebih lanjut agar implementasi perda dapat berjalan efektif dan tidak menimbulkan celah hukum. Beberapa Perbup tambahan yang direkomendasikan meliputi:
  • Perbup tentang Hak dan Kewajiban MHA dalam Partisipasi Pembangunan Daerah
    • Menentukan skema partisipasi MHA dalam pembangunan ekonomi dan sosial.
    • Memberikan akses prioritas bagi MHA dalam proyek daerah.
  • Perbup tentang Perlindungan Hak Perempuan, Anak, Pemuda, Lansia, dan Disabilitas dalam MHA
    • Menjamin keterlibatan kelompok rentan dalam pengambilan keputusan adat.
  • Perbup tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Wilayah Adat
    • Mengatur tata cara pemanfaatan sumber daya alam di wilayah adat.
    • Menetapkan mekanisme perizinan bagi pihak luar.
  • Perbup tentang Penyelesaian Sengketa Wilayah Adat dan Konflik dengan Pihak Luar
    • Mengatur prosedur mediasi dan arbitrase adat.
    • Mengintegrasikan peradilan adat dengan sistem hukum nasional.
  • Perbup tentang Forum Musyawarah MHA
    • Menetapkan mekanisme kerja Forum Musyawarah MHA Mbaham Matta.
    • Menyusun prosedur Musyawarah Besar dan Gelar Tikar Adat.
  • Perbup tentang Tata Cara Pemberian dan Pengawasan Izin bagi Badan Usaha
    • Menetapkan mekanisme penerbitan dan evaluasi izin usaha di wilayah adat.

E. Kesimpulan

Pemerintahan Bupati Samaun Dahlan dan Wakil Bupati Donatus Nimbitkendik memiliki tugas penting untuk segera menerbitkan regulasi turunan guna memastikan implementasi Perda No. 3 Tahun 2023 yang terintegrasi dengan visi dan misi pembangunan Fakfak 2025-2030.

Regulasi ini tidak hanya akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat tetapi juga memastikan pembangunan daerah berjalan secara inklusif dan berkeadilan. Dengan sinergi antara pemerintah daerah, masyarakat adat, dan pemangku kepentingan lainnya, Fakfak dapat berkembang sebagai kabupaten yang mandiri, sejahtera, dan berdaya saing tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat adat Mbaham Matta di atas tanah mereka sendiri.

*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal Solidaritas Guru Asli Papua

Urgensi Penyusunan Regulasi Turunan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Fakfak

Oleh: Ferdinand Nauw*



Pendahuluan

Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Fakfak Tahun 2011-2031 merupakan instrumen utama dalam perencanaan dan pengelolaan tata ruang di Kabupaten Fakfak. Regulasi ini berperan sebagai pedoman dalam mengatur pemanfaatan ruang yang berkelanjutan, berdaya guna, dan selaras dengan pembangunan daerah serta kepentingan nasional.

Sejalan dengan Visi RPJMD Kabupaten Fakfak 2025-2029, yaitu “Terwujudnya Kabupaten Fakfak yang Mandiri, Sejahtera, Aman dan Berdaya Saing Berlandaskan Keberagaman” (Fakfak Membara), implementasi RTRW harus mendukung agenda strategis pembangunan yang mencakup peningkatan infrastruktur, konektivitas wilayah, pengembangan ekonomi, dan kelestarian lingkungan. Dengan adanya regulasi turunan yang jelas, RTRW dapat menjadi fondasi utama dalam mewujudkan sasaran pembangunan daerah, termasuk perencanaan tata ruang yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.

Namun, agar implementasi RTRW dapat berjalan efektif, diperlukan peraturan turunan yang lebih operasional dalam bentuk Peraturan Bupati (Perbup) dan Peraturan Daerah (Perda) tambahan. Regulasi turunan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan perencanaan tata ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, serta mekanisme perizinan dan sanksi bagi pelanggar. Tanpa adanya regulasi turunan ini, berbagai program unggulan dan strategis dalam RPJMD 2025-2030 dapat mengalami kendala dalam pelaksanaannya.

Urgensi Penyusunan Regulasi Turunan

Penyusunan regulasi turunan RTRW sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan di Kabupaten Fakfak dapat berjalan sesuai dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam RPJMD 2025-2030. Beberapa alasan utama yang menjadikan regulasi turunan ini sebagai prioritas adalah:

  1. Mendukung Pembangunan Infrastruktur dan Konektivitas Wilayah
    RPJMD 2025-2030 menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur dasar, sosial, dan ekonomi, termasuk pembangunan jaringan jalan, pengelolaan sumber daya air, dan energi. Regulasi turunan dalam bentuk peraturan zonasi dan pengendalian pemanfaatan ruang diperlukan untuk memastikan bahwa setiap proyek pembangunan berjalan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

  2. Meningkatkan Investasi dan Pengembangan Ekonomi
    Dengan adanya regulasi yang jelas dalam tata ruang, Pemerintah Kabupaten Fakfak dapat menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, sebagaimana diamanatkan dalam Program Fakfak Ramah Investasi. Regulasi yang mengatur perizinan dan insentif bagi dunia usaha akan memberikan kepastian hukum bagi investor dalam mengembangkan industri berbasis sumber daya lokal.

  3. Menjamin Kelestarian Lingkungan dan Keberlanjutan Tata Ruang
    Salah satu misi utama RPJMD adalah keberlanjutan pembangunan dengan tetap menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Untuk itu, diperlukan peraturan terkait integrasi kawasan lindung dan budidaya serta pengendalian pemanfaatan ruang yang berkelanjutan. Hal ini akan mendukung kebijakan net zero emission dan menjaga kualitas lingkungan hidup Kabupaten Fakfak.

  4. Menyelaraskan RTRW dengan Program Unggulan Daerah
    Program unggulan seperti Fakfak Cerdas, Fakfak Sehat, dan Fakfak Andalan sangat bergantung pada perencanaan tata ruang yang tepat. Misalnya, pembangunan sekolah dan fasilitas kesehatan memerlukan regulasi yang memastikan ketersediaan lahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

  5. Mencegah Konflik dan Ketidaksesuaian dalam Pemanfaatan Ruang
    Tanpa regulasi turunan yang memadai, ada potensi tumpang tindih dalam pemanfaatan ruang, baik untuk kepentingan publik maupun sektor swasta. Oleh karena itu, peraturan terkait zonasi, insentif-disinsentif, serta pengendalian pemanfaatan ruang harus segera disusun agar tidak terjadi permasalahan di kemudian hari.

Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Fakfak perlu segera menyusun dan mengesahkan regulasi-regulasi turunan ini agar RTRW dapat berjalan secara efektif, memberikan kepastian hukum, serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan sesuai dengan visi dan misi daerah. Dengan adanya regulasi yang terstruktur, RTRW akan menjadi instrumen utama dalam mencapai kemandirian ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian lingkungan di Kabupaten Fakfak.

Kesimpulan

Dari hasil analisis ini, diperlukan 11 Peraturan Bupati dan 3 Peraturan Daerah sebagai regulasi turunan dari PERDA No. 8 Tahun 2012. Keberadaan regulasi turunan ini sangat krusial untuk memastikan implementasi RTRW Kabupaten Fakfak berjalan optimal dan memberikan dampak positif bagi pembangunan daerah.

Diharapkan Pemerintah Kabupaten Fakfak dapat segera mengambil langkah konkret dalam menyusun dan mengesahkan peraturan-peraturan ini guna menciptakan tata ruang yang lebih baik, berkelanjutan, dan selaras dengan kepentingan masyarakat serta mendukung realisasi RPJMD 2025-2030.

*Penulis adalah Sekretaris Jenderal Solidaritas Guru Asli Papua

Rabu, 05 Maret 2025

MENINGKATKAN KOMPETENSI ASN ORANG ASLI PAPUA (OAP) MENUJU BIROKRASI YANG PROFESIONAL DI KABUPATEN FAKFAK

Abstrak

Pembangunan sumber daya manusia (SDM) di sektor aparatur sipil negara (ASN) menjadi kunci utama dalam mewujudkan birokrasi yang profesional dan berintegritas, terutama di wilayah dengan status otonomi khusus seperti Papua. Kabupaten Fakfak menghadapi tantangan besar dalam memastikan proporsi ASN Orang Asli Papua (OAP) yang seimbang serta memiliki kompetensi yang mumpuni. Berdasarkan data terbaru, jumlah ASN di Kabupaten Fakfak tercatat sebanyak 4.382 orang, dengan komposisi 1.817 ASN OAP (41%) dan 2.565 ASN Non-OAP (59%). Artikel ini membahas pentingnya peningkatan kompetensi ASN OAP berbasis profesionalisme dan integritas, bukan sekadar afirmasi berbasis politik, demi memastikan keadilan dan kualitas pelayanan publik yang lebih baik.

Gambar: Infografis Data Proporsional ASN OAP dan Non-OAP Kabupaten Fakfak Tahun 2025
(Sumber: Hasil Analisis Data oleh FORKESPA Fakfak)

Pendahuluan

Papua sebagai daerah yang diberikan status Otonomi Khusus (Otsus) memiliki tanggung jawab besar dalam meningkatkan kapasitas SDM lokal agar mampu bersaing secara profesional. Fakta menunjukkan bahwa meskipun telah dilakukan afirmasi dalam rekrutmen ASN bagi OAP, namun masih terdapat kesenjangan dalam hal proporsi dan kualitas kompetensi di antara ASN OAP dan Non-OAP. Berdasarkan data tahun 2025, dari total 4.382 ASN di Kabupaten Fakfak, hanya 41,5% yang berasal dari OAP, sementara 58,5% ASN lainnya berasal dari Non-OAP. Selain itu, proporsi ASN OAP yang menduduki jabatan struktural masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan Non-OAP.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa meskipun afirmasi telah diberikan dalam rekrutmen, tantangan dalam peningkatan kompetensi ASN OAP masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, langkah strategis harus dilakukan untuk memastikan bahwa ASN OAP mendapatkan kesempatan yang sama dalam pengembangan kapasitas dan promosi jabatan berdasarkan meritokrasi, profesionalisme, dan integritas.

Analisis Proporsi dan Tantangan ASN OAP di Kabupaten Fakfak

Berdasarkan data yang diperoleh, distribusi ASN OAP dan Non-OAP di Kabupaten Fakfak menunjukkan adanya perbedaan dalam jumlah serta jenjang jabatan. Beberapa temuan utama dalam data tersebut adalah:

1. ASN OAP (1.817 orang, 41,5%) lebih banyak terkonsentrasi di jenjang golongan III dan IV, tetapi dominasi dalam jabatan struktural masih lebih kecil dibandingkan Non-OAP.

2. ASN Non-OAP (2.565 orang, 58,5%) mendominasi jabatan-jabatan strategis, terutama di golongan IV dan IX (PPPK).

3. Kesenjangan kompetensi masih terlihat dalam beberapa indikator seperti tingkat pendidikan, pengalaman kerja, serta akses terhadap program pelatihan dan sertifikasi kompetensi.

Tantangan utama yang dihadapi oleh ASN OAP meliputi:

1. Keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pelatihan yang berkualitas.

2. Minimnya pengalaman dalam posisi kepemimpinan struktural.

2. Kurangnya sistem pendampingan (mentorship) bagi ASN OAP dalam mengembangkan kapasitas mereka.

4. Adanya bias struktural yang menyebabkan ASN Non-OAP lebih mudah mendapatkan posisi strategis.

Strategi Peningkatan Kompetensi ASN OAP

Untuk mengatasi kesenjangan ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang berbasis pada prinsip profesionalisme, integritas, dan meritokrasi. Beberapa strategi yang dapat diimplementasikan adalah:

1. Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan

Menyelenggarakan program pelatihan berbasis kompetensi yang selaras dengan kebutuhan birokrasi di Kabupaten Fakfak.

Mengembangkan kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga pelatihan nasional dalam peningkatan kapasitas ASN OAP.

Memberikan beasiswa dan kesempatan pendidikan lanjut bagi ASN OAP untuk meningkatkan kualifikasi akademik dan profesional.

2. Sistem Mentorship dan Penguatan Kepemimpinan

Membangun program pendampingan oleh ASN senior bagi ASN OAP untuk meningkatkan keterampilan manajerial dan teknis.

Memberikan peluang rotasi jabatan dan promosi berbasis meritokrasi bagi ASN OAP.

Mengadakan forum diskusi dan pelatihan kepemimpinan guna membangun jiwa kepemimpinan di kalangan ASN OAP.

3. Kebijakan Afirmasi Berbasis Profesionalisme

Menerapkan kebijakan afirmasi yang tidak hanya berfokus pada kuantitas, tetapi juga kualitas ASN OAP.

Menyusun regulasi khusus untuk memastikan ASN OAP mendapatkan akses yang adil terhadap pelatihan, promosi, dan jabatan strategis.

Menjamin bahwa rekrutmen dan promosi ASN OAP didasarkan pada kompetensi, bukan kepentingan politik.

4. Penguatan Sistem Evaluasi dan Akuntabilitas

Menerapkan sistem evaluasi kinerja berbasis objektif untuk memastikan ASN OAP dan Non-OAP memiliki standar kerja yang sama.

Membentuk unit khusus dalam pemerintahan daerah yang bertugas memantau dan mengevaluasi perkembangan kompetensi ASN OAP.

Melibatkan masyarakat dalam penilaian terhadap kinerja ASN OAP guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

Kesimpulan

Meningkatkan kompetensi ASN OAP di Kabupaten Fakfak merupakan langkah penting dalam mewujudkan birokrasi yang profesional, adil, dan berintegritas. Proporsi ASN OAP yang masih lebih rendah dibandingkan Non-OAP menunjukkan bahwa meskipun afirmasi telah dilakukan, tetapi peningkatan kompetensi masih menjadi tantangan utama. Oleh karena itu, pendekatan yang sistematis melalui pendidikan, pelatihan, mentorship, serta kebijakan afirmasi berbasis profesionalisme perlu diterapkan untuk menciptakan birokrasi yang lebih inklusif dan berkualitas di tanah Papua.

Daftar Pustaka

1. Badan Kepegawaian Negara. (2022). Laporan Tahunan Kinerja Kepegawaian di Wilayah Papua dan Papua Barat. Jakarta: BKN.

2. Departemen Dalam Negeri. (2021). Strategi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri RI.

3. Ginting, H., & Suryadi, R. (2020). "Profesionalisme ASN dalam Pelayanan Publik: Studi Kasus di Wilayah Otonomi Khusus". Jurnal Administrasi Publik dan Kebijakan, 15(1), 34-52.

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Peningkatan Profesionalisme ASN di Wilayah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.

5. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2021). Buku Pedoman Reformasi Birokrasi Nasional 2020-2025. Jakarta: KemenPAN-RB.

6. Kurniawan, I. (2019). "Kebijakan Afirmasi dan Tantangan Profesionalisme dalam Rekrutmen ASN di Daerah Otonomi Khusus". Jurnal Kebijakan Publik, 8(2), 77-89.

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

8. Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya. (2023). Laporan Evaluasi Kinerja ASN di Kabupaten Fakfak. Fakfak: Dinas Kepegawaian Daerah.

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2021.

Program Kesehatan Gratis Fakfak: Langkah Berani yang Perlu Dukungan Nyata

Program Kesehatan Gratis Fakfak: Langkah Berani yang Perlu Dukungan Nyata Oleh Ferdinandus Nauw *) Pada 9 April 2025, Fakfak, Pa...