Rabu, 26 Maret 2025

UU TNI yang Baru: Modernisasi Pertahanan atau Ancaman bagi Demokrasi dan Masyarakat Papua?

Oleh: Ferdinand Nauw, M.Pd *)

Pengesahan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menandai perubahan besar dalam tata kelola pertahanan nasional. Perubahan ini mencakup perpanjangan usia pensiun prajurit, perluasan peran TNI di sektor sipil, serta peningkatan kewenangan dalam menghadapi ancaman non-konvensional.

Bagi masyarakat umum, perubahan ini mungkin sekadar kebijakan teknis. Namun, bagi daerah-daerah dengan dinamika sosial dan politik yang kompleks seperti Papua, revisi UU ini berpotensi memiliki dampak luas, baik dari segi keamanan, pemerintahan, maupun hak-hak masyarakat sipil.

Lalu, apakah revisi ini benar-benar menjadi langkah maju dalam modernisasi pertahanan, atau justru membuka ruang bagi potensi ketimpangan kewenangan antara sipil dan militer?

1. Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit: Dampak bagi Regenerasi dan Kesejahteraan Daerah

Perubahan UU ini memperpanjang usia pensiun prajurit, yang berarti lebih banyak personel TNI tetap aktif dalam dinas lebih lama.

Dampaknya bagi daerah, termasuk Papua:

Regenerasi kepemimpinan dalam tubuh TNI bisa terhambat, sehingga daerah-daerah seperti Papua yang membutuhkan adaptasi dengan dinamika sosial terkini mungkin tetap dipimpin oleh pejabat militer dengan pendekatan lama.

Dengan lebih banyak prajurit aktif, alokasi anggaran untuk kesejahteraan prajurit meningkat, tetapi bisa mengorbankan investasi di sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan di daerah terpencil.

Kurangnya peluang bagi prajurit muda untuk promosi bisa memicu demotivasi dan potensi ketimpangan dalam distribusi jabatan di berbagai wilayah, termasuk di Papua.

Di Papua, di mana hubungan antara aparat keamanan dan masyarakat sering kali tegang, kebijakan ini bisa memperpanjang dominasi personel militer yang telah lama bertugas di wilayah ini, sehingga memperlambat pendekatan baru dalam membangun kepercayaan dengan masyarakat setempat.

2. Peran TNI di Sektor Sipil: Ancaman bagi Supremasi Sipil dan Otonomi Daerah

UU yang baru membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di lebih banyak lembaga pemerintahan sipil, bukan hanya di Kementerian Pertahanan atau institusi strategis lainnya.

Bagi daerah seperti Papua, di mana otonomi khusus seharusnya memberi ruang lebih besar bagi peran masyarakat sipil dan pemerintahan daerah, kebijakan ini bisa menjadi tantangan serius:

Kehadiran prajurit aktif dalam jabatan sipil bisa mempersempit ruang demokrasi, karena aparat militer cenderung memiliki pendekatan komando yang berbeda dari birokrasi sipil.

Pemerintah daerah bisa kehilangan kendali dalam beberapa sektor strategis, terutama jika personel militer yang ditempatkan memiliki lebih banyak kewenangan dalam pengambilan keputusan.

Masyarakat sipil Papua, yang selama ini kritis terhadap pendekatan keamanan berbasis militer, bisa semakin teralienasi, karena melihat kehadiran TNI yang semakin meluas di sektor-sektor non-militer.

Papua memiliki sejarah panjang dalam hubungan antara TNI dan masyarakat sipil. Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menguatkan persepsi bahwa negara lebih mengutamakan pendekatan keamanan daripada pendekatan kesejahteraan dalam menangani Papua.

3. Perluasan Peran TNI dalam Menghadapi Ancaman Non-Konvensional: Ancaman atau Solusi?

UU ini juga memberikan TNI kewenangan lebih besar dalam menghadapi ancaman non-konvensional seperti terorisme, kejahatan siber, dan ancaman lain yang dianggap berbahaya bagi negara.

Namun, bagi Papua dan daerah lain yang memiliki dinamika sosial-politik yang sensitif, perluasan peran ini bisa menimbulkan implikasi serius:

Kemungkinan meningkatnya operasi militer dalam penanganan konflik sosial, yang seharusnya menjadi ranah Polri atau pendekatan berbasis dialog.

Potensi perluasan pengawasan militer dalam kehidupan masyarakat, dengan dalih mencegah ancaman keamanan nasional.

Kekhawatiran akan meningkatnya pendekatan represif terhadap kelompok masyarakat yang kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat, khususnya di Papua.

Pendekatan militer yang lebih dominan dalam penyelesaian konflik berisiko mengabaikan akar permasalahan yang sesungguhnya, seperti kesenjangan ekonomi, ketimpangan pendidikan, serta kurangnya pembangunan infrastruktur yang berpihak pada masyarakat asli Papua.

Kesimpulan: Papua Butuh Pembangunan, Bukan Sekadar Pendekatan Keamanan

Undang-Undang TNI yang baru ini mungkin bertujuan untuk meningkatkan ketahanan nasional dan adaptasi terhadap ancaman zaman. Namun, bagi daerah seperti Papua, perubahan ini harus dilihat dengan kacamata yang lebih kritis.

Jika tujuan utama pemerintah adalah menciptakan Papua yang aman dan sejahtera, maka yang dibutuhkan bukan sekadar militerisasi dalam berbagai sektor, tetapi juga investasi yang lebih besar dalam pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat asli.

Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan agar implementasi UU ini tidak menjadi boomerang bagi demokrasi dan kesejahteraan masyarakat Papua:

1. Menjaga keseimbangan antara peran TNI dan supremasi sipil, dengan regulasi ketat tentang batasan keterlibatan prajurit aktif di sektor sipil.

2. Menjamin bahwa keberadaan TNI di Papua benar-benar untuk perlindungan masyarakat, bukan untuk membatasi kebebasan sipil dan politik.

3. Membuka ruang dialog yang lebih besar antara pemerintah, masyarakat adat, dan kelompok-kelompok sipil di Papua, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam implementasi kebijakan keamanan.

Papua tidak boleh hanya dipandang sebagai wilayah yang perlu dijaga dengan pendekatan militer. Papua adalah bagian dari Indonesia yang memiliki hak untuk mendapatkan pembangunan yang adil, kesejahteraan yang merata, serta ruang demokrasi yang sehat.

Jika UU TNI yang baru ini tidak diimplementasikan dengan bijak, maka yang akan terjadi bukanlah Papua yang lebih aman dan stabil, melainkan Papua yang semakin jauh dari prinsip keadilan dan demokrasi yang seharusnya dijunjung oleh negara ini.

*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal Solidaritas Guru Asli Papua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Program Kesehatan Gratis Fakfak: Langkah Berani yang Perlu Dukungan Nyata

Program Kesehatan Gratis Fakfak: Langkah Berani yang Perlu Dukungan Nyata Oleh Ferdinandus Nauw *) Pada 9 April 2025, Fakfak, Pa...