Oleh: Ferdinand Nauw *)
Di sepanjang sejarah peradaban, manusia selalu berada dalam tarik-menarik antara iman dan akal, antara tunduk dan merdeka, antara menyembah dan mempertanyakan. Tuhan—dalam berbagai bahasa, bentuk, dan pengertian—telah menjadi pusat perhatian dan perdebatan. Dalam dirinya, manusia tidak hanya bertanya tentang kehidupan, tetapi juga tentang asal-usul, tujuan, dan makna keberadaannya. Dan dalam pencarian itulah, saya memaknai bahwa manusia dapat dikategorikan dalam empat karakter besar ketika berhadapan dengan pertanyaan tentang Tuhan.
I. Manusia yang Tunduk Sepenuhnya pada Tuhan
Karakter pertama adalah mereka yang hidup dalam keyakinan penuh bahwa Tuhan itu ada dan berkuasa mutlak atas hidup manusia. Ini adalah posisi iman yang total, yang dibangun di atas pondasi kepercayaan yang tak tergoyahkan. Bagi manusia dalam kategori ini, Tuhan bukan sekadar ide atau simbol moral, tetapi entitas absolut yang hadir nyata dan aktif dalam setiap detik kehidupan.
Segala hal yang terjadi dalam hidupnya—suka maupun duka—dipahami sebagai bagian dari rencana Ilahi. Mereka berserah, berdoa, dan berjuang dalam kerangka kehendak Tuhan. Tunduk dalam arti bukan sekadar pasrah, melainkan percaya bahwa segala sesuatu memiliki maksud dan tujuan dalam cakrawala kekekalan yang Tuhan kendalikan. Ini adalah iman para nabi, para pertapa, dan para sufi. Mereka yang hidupnya terpusat pada relasi vertikal yang mendalam dengan Sang Pencipta.
Namun, dalam konteks zaman modern, posisi ini sering kali dianggap naif oleh mereka yang lebih mengandalkan nalar. Padahal, ketundukan ini justru menyimpan kebijaksanaan mendalam, karena ia mewakili kerendahan hati manusia dalam mengakui keterbatasannya di hadapan Misteri yang Mahabesar.
II. Manusia yang Acuh: “Tuhan Ada atau Tidak, Bukan Urusan Saya”
Karakter kedua adalah mereka yang hidup dalam bayang-bayang ketidakpedulian metafisik. Mereka tidak menolak keberadaan Tuhan, tetapi juga tidak merasa perlu untuk memikirkannya. Dalam pandangan mereka, pertanyaan tentang Tuhan tidak relevan dalam hidup sehari-hari. Mereka hidup praktis, rasional, dan pragmatis.
Manusia dalam kategori ini sering muncul di masyarakat urban yang sibuk, dalam budaya konsumtif dan dunia yang bergerak cepat. Keberadaan Tuhan menjadi sesuatu yang jauh, bahkan tidak perlu diganggu karena dianggap tidak punya pengaruh langsung terhadap kenyataan hidup.
Namun, bukan berarti mereka tidak punya nilai atau etika. Justru banyak dari mereka yang hidup secara moral, bertanggung jawab, dan bekerja keras. Tapi Tuhan—sebagai pusat spiritualitas—telah menjadi seperti radio statis yang perlahan hilang dari frekuensi hidup mereka.
Ini adalah jenis manusia yang barangkali tidak mencari, tapi juga tidak menolak. Mereka hanya… tidak peduli.
III. Manusia yang Menolak: “Tuhan Tidak Ada”
Karakter ketiga adalah manusia yang meyakini bahwa Tuhan tidak ada. Ini adalah posisi ateistik eksplisit. Dalam banyak kasus, pandangan ini lahir dari pengalaman pribadi yang pahit—kekecewaan terhadap agama, penderitaan yang tak terjelaskan, atau pencarian intelektual yang menabrak batas-batas doktrin tradisional.
Mereka bukan sekadar tidak percaya, tetapi aktif menolak gagasan tentang keberadaan Tuhan. Namun menariknya, banyak dari mereka justru sangat serius dalam mencari makna hidup. Mereka tidak percaya pada kehidupan setelah mati, tapi justru karena itulah mereka lebih sungguh-sungguh dalam hidup di dunia ini.
Nama-nama besar seperti Friedrich Nietzsche, Albert Camus, atau Jean-Paul Sartre lahir dari kategori ini. Mereka menolak Tuhan, tapi tidak menolak kemanusiaan. Mereka tidak percaya pada surga, tapi justru menggali nilai-nilai moral dari keberanian manusia untuk hidup tanpa jaminan ilahi.
Ini adalah manusia yang memilih untuk menanggung eksistensinya sendiri, sepenuhnya. Dan dalam keberaniannya itu, mereka tetap patut dihargai sebagai pencari makna.
IV. Manusia yang Memaknai: “Tuhan Ada, Tapi Manusia Harus Memahami-Nya”
Karakter keempat inilah yang paling mendalam dan paling reflektif. Ia percaya bahwa Tuhan itu ada, tetapi tidak berhenti sampai di situ. Ia merasa bahwa manusia juga diberi akal, hati, dan kesadaran—bukan untuk tunduk membabi buta, tetapi untuk memaknai.
Dalam posisi ini, Tuhan bukan hanya sosok yang menuntut penyembahan, tapi juga sahabat dalam dialog batin yang panjang. Manusia bukan budak, melainkan mitra pencari. Iman bukan sekadar warisan, tapi pencapaian. Dan kebenaran tidak datang dari luar, tapi harus digali dari dalam kesadaran yang jujur dan terbuka.
Posisi ini barangkali dekat dengan para filsuf religius, para pencari makna, para pendaki spiritual yang tidak takut ragu, tidak takut bertanya, tapi pada akhirnya tetap memilih untuk percaya—karena telah mengalami sendiri jejak Tuhan dalam hidupnya.
Ini adalah bentuk iman yang dewasa: tidak hitam putih, tidak dogmatis, tapi juga tidak nihilistik. Ia bergerak antara iman dan nalar, antara kepasrahan dan pencarian. Inilah bentuk keberagamaan yang paling manusiawi, karena menghargai kebebasan manusia untuk menafsir, menggali, dan memahami Tuhan—dalam sejarah, budaya, dan pengalaman hidupnya sendiri.
Menjadi Manusia: Di Antara Iman dan Kesadaran
Keempat karakter ini bukan untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang sesat. Melainkan untuk menggambarkan bahwa manusia memang berbeda-beda dalam menyikapi keberadaan Tuhan—sesuai dengan pengalaman, pemikiran, dan konteks hidupnya masing-masing.
Barangkali, dalam perjalanan hidupnya, seseorang bisa berpindah dari satu karakter ke karakter lain. Dari tunduk, menjadi apatis; dari apatis, menjadi ateis; dari ateis, menjadi pencari yang reflektif. Dan itu sah. Karena menjadi manusia berarti terus bergerak, terus bertanya, dan terus memaknai.
Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah label dari masing-masing posisi, melainkan bagaimana manusia hidup secara otentik dengan keyakinan dan pencariannya. Karena yang paling berbahaya bukanlah tidak percaya Tuhan, melainkan hidup tanpa pertanggungjawaban terhadap diri sendiri dan sesama.
Tuhan, pada akhirnya, adalah soal relasi. Soal kesadaran. Soal keberanian untuk menempatkan diri kita—yang terbatas ini—dalam percakapan abadi dengan Sang Tak Terbatas.
Dan dalam percakapan itulah, kita menjadi manusia sepenuhnya.
*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal Solidaritas Guru Asli Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar