Oleh Ferdinandus Nauw *)
Pada 9 April 2025, Fakfak, Papua Barat, mencatatkan sejarah baru dengan peluncuran "Program Pengobatan Kesehatan Gratis" di RSUD Fakfak oleh Bupati Samaun Dahlan. Inisiatif ini menjanjikan layanan kesehatan gratis—mulai dari pemeriksaan darurat, rawat inap, hingga obat-obatan—bagi sekitar 75.000 warga yang tidak tercover BPJS Kesehatan. Dalam populasi lebih dari 90.000 jiwa, langkah ini adalah angin segar bagi mereka yang selama ini terhambat biaya untuk berobat. Namun, di balik ambisi mulia ini, ada tantangan besar yang harus dijawab agar janji manis tidak berubah menjadi harapan kosong.
Kekuatan yang Menginspirasi
Program ini punya kekuatan luar biasa. Pertama, akses gratis ke layanan kesehatan menghapus beban finansial yang selama ini jadi momok bagi warga Fakfak, dari Karas Pulau Tiga hingga Tomage Tanah Rata. Kedua, dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten Fakfak melalui Bupati, Bapak Samaun Dahlan, S.Sos.,M.AP dan Wakil Bupati, Bapak Donatus Nimbitkendik, M.T menunjukkan komitmen nyata untuk rakyat. Ini bukan sekadar wacana, tetapi bukti bahwa pemerintah daerah bisa bergerak cepat menjawab kebutuhan dasar. Bayangkan, seorang ibu di kampung terpencil kini bisa membawa anaknya ke rumah sakit tanpa memikirkan tagihan. Itulah kekuatan sejati program ini.
Kelemahan yang Mengintip
Namun, tak ada kebijakan sempurna. Program ini bergantung pada anggaran daerah, dan kita tahu betul betapa rapuhnya fiskal lokal jika tidak dikelola dengan hati-hati. RSUD Fakfak, sebagai tulang punggung program, juga jadi pertanyaan: mampukah fasilitas dan tenaga medisnya menangani lonjakan pasien? Belum lagi, program ini tampak berdiri sendiri tanpa integrasi jelas dengan BPJS Kesehatan. Tanpa sinergi, ada risiko tumpang tindih atau bahkan ketidakadilan bagi warga yang sudah bayar iuran BPJS. Detail operasional pun masih samar—bagaimana cara daftar? Sampai kapan program ini berlangsung? Ketidakjelasan ini bisa jadi bumerang.
Peluang Emas di Depan Mata
Di sisi lain, peluang yang dibawa program ini tak kalah menggoda. Jika sukses, Fakfak bisa jadi percontohan bagi daerah terpencil lain di Indonesia. Bayangkan dampaknya: angka kunjungan kesehatan naik, penyakit terdeteksi lebih dini, dan kualitas hidup warga membaik. Ada juga ruang untuk kolaborasi dengan swasta atau LSM—mengapa tidak mengajak perusahaan lokal atau organisasi kesehatan untuk turun tangan? Bagi Bupati Samaun Dahlan, ini juga peluang emas memperkuat kepercayaan rakyat. Program ini bukan cuma soal kesehatan, tapi juga soal harapan dan citra pemerintahan yang peduli.
Ancaman yang Mengintai
Tapi, jangan lengah. Ancaman nyata mengintip di horizon. Lonjakan pasien bisa membebani RSUD Fakfak—antrean panjang, dokter kelelahan, dan kualitas layanan turun adalah skenario yang tak boleh diabaikan. Anggaran jangka panjang juga jadi tanda tanya besar; jika dana habis, apa yang tersisa dari janji ini? Belum lagi, warga yang sudah bayar BPJS mungkin merasa dikucilkan, memicu ketegangan sosial. Faktor eksternal seperti bencana alam atau logistik sulit di Papua Barat juga bisa menggagalkan eksekusi mulus program ini.
Jalan ke Depan
Program kesehatan gratis Fakfak adalah langkah berani yang patut diacungi jempol. Tapi, keberanian saja tak cukup. Pemerintah daerah harus segera mengamankan pendanaan cadangan—mungkin lewat kemitraan dengan pihak swasta atau pusat. RSUD Fakfak perlu diperkuat, baik dari segi tenaga medis maupun fasilitas, agar tak kewalahan. Integrasi dengan BPJS Kesehatan juga wajib dipertimbangkan untuk memastikan keadilan bagi semua warga.
Kepada masyarakat Fakfak, mari dukung program ini dengan bijak—manfaatkan layanan seperlunya, bukan seenaknya. Apresiasi kepada Bupati Fakfak, Bapak Samaun Dahlan, ini saatnya membuktikan bahwa visi besar bisa diwujudkan dengan eksekusi cerdas. Jika semua pihak bersinergi, program ini bukan cuma akan jadi headline berita, tapi juga legacy nyata untuk generasi mendatang. Fakfak layak sehat, dan ini adalah langkah awal yang harus kita kawal bersama.
*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal Solidaritas Guru Asli Papua