Pada 20 September 2023 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah tokoh ulama Indonesia mengeluarkan Mosi Tidak Percaya kepada Presiden Joko Widodo.
Pernyataan Mosi Tidak Percaya itu berbunyi kurang lebih sebagai berikut:
"Negara Indonesia saat ini berada pada jurang krisis berbangsa dan bernegara. Hal itu ditandai dengan kegagalan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam menjalankan demokrasi, melindungi kebebasan sipil, dan mensejahterakan rakyat. Pembangunan yang dilakukan selama ini hanya memperkaya segelintir orang (kaum kapitalis/pemodal) dengan mempercepat pengurasan sumber daya alam (SDA) dan berbagai aset negara lainnya, serta memperbesar utang luar negeri dan menambah deretan ketergantungan terhadap China.
Berbagai undang-undang dan perangkat hukum yang dikeluarkan seperti undang-undang cipta kerja, undang-undang kesehatan, undang-undang IKN, undang-undang KPK, undang-undang Minerba dan lainnya hanyalah alat untuk melegitimasi kekuasaan Jokowi dan antek-anteknya yang sarat kepentingan oligarki serta menjadikan rakyat hanya sebagai penonton. Situasi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini jelas-jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila. Pancasila mengajarkan kehidupan berbangsa untuk mencapai kemakmuran rakyat, keadilan sosial, nilai-nilai demokrasi, dan hak asasi manusia.
Selama 9 tahun Jokowi berkuasa, telah terjadi penangkapan-penangkapan terhadap masyarakat umum, ulama dan aktivis secara spesifik. Telah terjadi pula pembunuhan terhadap santri pengawal ulama, kematian petugas KPPS, dan peserta aksi unjuk rasa pada pemilu 2019. Pembiaran tragedi stadion Kanjuruhan, aksi-aksi mahasiswa dan buruh serta pelanggaran hak asasi manusia lainnya termasuk pemutakhiran bagaimana kezaliman nyata di pertontonkan di Pulau Rempang (Batam, Kepulauan Riau), di mana hak penduduk asli dicampakkan begitu saja atas nama investasi. Semua ini menunjukkan bahwa rezim ini telah menjelma menjadi rezim otoriter. Selama 9 tahun ini pula sekitar 100 juta rakyat Indonesia kehilangan akses pada pekerjaan yang layak, terjebak dalam kemiskinan dan stunting serta merosotnya secara terus-menerus kualitas hidup.
Ketika rakyat dan negara sedang berada di dalam krisis, Jokowi terus berusaha memperpanjang kekuasaan dan pengaruhnya menjelang pemilu 2024. Hal tersebut dilakukan dengan cawe-cawe politik baik melalui pengarahan terhadap parpol tertentu maupun mengarahkan kekuasaan negara untuk memenangkan calon presiden pilihannya bahkan secara terang-terangan presiden menyatakan dirinya dengan menggunakan perangkat intelijen negara dan aparat keamanan lainnya memata-matai arah partai politik.
Jokowi juga membangun poros Indonesia-China melalui penandatanganan MOU dengan CYP, menerapkan desain ibukota negara baru kepada China. Hal ini tentu sangat membahayakan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia." ~ Sumber: https://vt.tiktok.com/ZSNeMFcCq
Melihat kondisi dan polemik investasi yang dihadapi oleh negara hari ini, maka setiap daerah khususnya daerah-daerah yang masuk dalam list Program Strategis Nasional (PSN) yang sedang dijalankan oleh pemerintah dengan dalil dan motif investasi demi pembangunan dan perbaikan ekonomi masyarakat perlu melakukan upaya-upaya preventif dan represif. Upaya-upaya preventif dan represif yang dimaksudkan bukan berarti menolak secara terbuka proses investasi yang akan dilakukan di daerah, yang melibatkan kepentingan dan hak masyarakat adat tetapi lebih pada upaya-upaya proteksi dini terhadap hak-hak dasar yang meliputi hak atas tanah, air, udara, bahkan hak hidup di atas tanah nenek moyang yang leluhur titipkan kepada kita. Pada dasarnya, investasi itu penting dan bermanfaat jika dikelola secara arif dan bijak serta berpihak dan mengedepankan asas-asas prikemanusiaan dan keadilan yang hakiki dan bermartabat. Investasi hendaknya bertujuan untuk mengangkat taraf hidup dan kemandirian masyarakat, bukan menguntungkan pihak pemodal dan para kapitalis secara sepihak.